ABSTRAK

Penelitian ini dilatar belakangi oleh permasalahan atas pencalonan mantan
terpidana sebagai calon anggota legislatif, dalam beberapa waktu lalu
menimbulkan perdebatan. Hal tersebut dipicu dengan banyaknya mantan-mantan
terpidana yang kembali mencalonkan diri pada pemilu 2024. Fokus Penelitian ini
ada dua yaitu bagaimana dasar pertimbangan hakim terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023 tentang hak politik mantan terpidana dalam
pemilihan umum legislatif dan bagaimana pandangan fiqh siyasah mengenai
putusan mahkamah konstitusi tentang hak politik mantan terpidana dalam
pemilihan umum legisltatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif. Dalam pengumpulan data penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan jenis penelitian kepustakaan yang merupakan penelitian normatif
yang bersifat deskriptif, maka segala kegiatan penelitian ini dipusatkan pada objek
kajian terhadap Pasal 182 huruf g UU No. 7 Tahun 2017 yang dianalisis dengan
teori-teori yang bersumber dari buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan
persoalan ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa, pertama alasan dibolehkannya

mantan narapidana menjadi anggota legislatif adalah untuk mengembalikan hak-
hak mereka yang dijamin oleh UUD 1945, dan partisipasi masyarakat untuk

berpolitik merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dihormati.
Kedua, fiqih siyasah memandang bahwa Pasal 182 huruf g UU No. 7 Tahun 2017,
telah mengembalikan hak-hak rakyat yakni hak seorang mantan narapidana untuk
ikut berpartisipasi dalam politik dan hak yang sama di hadapan hukum. Artinya
dalam pandangan Fiqih Siyasah hukum menjadi anggota legislatif adalah mubah,
apabila ia telah bertaubat seperti yang telah disyaratkan oleh Pasal 182 huruf g
UU No. 7 Tahun 2017.

Kata Kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Mantan Terpidana, Fiqh Siyasah