Penelitian ini membahas perspektif hukum Islam terhadap keabsahan akad nikah
yang dilakukan oleh individu pengidap gangguan mental. Dalam konteks hukum
Islam, akal (aql) menjadi syarat penting dalam sahnya akad nikah, sehingga
muncul problematika ketika salah satu pihak mengalami gangguan mental, baik
sebelum maupun sesudah perkawinan berlangsung. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji bagaimana hukum Islam, khususnya dalam empat mazhab besar
(Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali), serta hukum positif di Indonesia seperti
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, memandang
status pernikahan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode normatif-empiris, menggabungkan kajian literatur fiqh klasik dan
kontemporer serta wawancara mendalam dengan ulama dan praktisi hukum. Hasil
penelitian menunjukkan adanya perbedaan pandangan mengenai sah atau tidaknya
akad nikah bagi pengidap gangguan mental, tergantung pada tingkat kesadaran
dan kapasitas individu saat akad dilakukan. Pendekatan maqashid syariah,
khususnya dalam menjaga akal (ḥifẓ al-‗aql) dan keturunan (ḥifẓ al-nasl), menjadi
acuan penting dalam menetapkan kebolehan atau larangan perkawinan tersebut.
Studi ini juga menyoroti aspek sosial dan psikologis, termasuk stigma serta peran
keluarga dalam mendukung keberlangsungan pernikahan. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan sistem hukum
perkawinan Islam yang responsif terhadap isu kesehatan mental.